Sunday, January 22, 2006

"Al Jannah Al Aan", Film Pertama Melacak Jejak Pelaku Bom Syahid di Palestina

"Dua pemuda Palestina, Saed dan Khaled, hidup di antara hari-hari yang dibalut kemiskinan dan dentum peluru serta roket. Ia adalah dua sahabat sejak kecil. Keduanya, setelah remaja juga hidup seperti teman sebayanya dengan sejumlah tradisi anak muda yang gemar duduk-duduk dan merokok.Tapi hari-hari Saed menjadi berbeda dengan kedatangan seorang gadis cantik, Suha namanya. Suha datang untuk memperbaiki mobil ke kantor mekanik mobil yang kebetulan merupakan tempat bekerja Saed. Dalam interaksi yang tidak terlalu lama, ternyata dalam hati keduanya, tumbuh benih-benih cinta. Di tengah suasana itu, Saed tiba-tiba diberitahu oleh Jamal seorang paruh baya yang memberitahu bahwa Khaled dan dirinya telah terpilih melakukan sebuah misi khusus. Pemilihan ini terjadi karena keduanya telah saling berikrar ingin meninggal sebagai syahid dan gugur bersama. Hari demi hari pun berganti. Hingga Saed dan Khaled mempersiapkan diri dan menunggu saat-saat itu tiba. Beberapa hari sebelum aksi dilakukan, keduanya menyampaikan pesan-pesan dalam rekaman video. Rekaman ini nantinya akan disebarluaskan ketika mereka telah menjanlani aksi syahid. Mereka juga sempat menjalani proses 'pemandian' sebagai tradisi yang umum berlaku di kalangan pejuang Palestina, sebelum mereka gugur.Ketika menghabiskan malam terakhir dengan keluarganya, keduanya sempat resah. Dalam pikirannya berkecamuk mencari cara bagaimana menyampaikan rencana perjuangan yang akan mereka lakukan kepada keluarganya? Bagaimanapun tak boleh ada orang yang mengetahui rencana itu. Saed menyempatkan diri menyelinap menemui Suha untuk terakhir kalinya.Pada pagi keesokan harinya, mereka pergi ke perbatasan. Bom sudah melekat di tubuh mereka yang dilapisi rompi. Aksi mereka pun difilmkan dari jauh oleh pejuang yang lain. Tapi rupanya aksi pemboman tidak berlangsung mulus sesuai rencana, sehingga keduanya terpisah. Disinilah perjalanan mereka dimulai, saat takdir mulai mengambil alih, saat mereka terlingkupi berbagai masalah, saat mereka harus mempertahankan keyakinan mereka. . . ."

Film Drama Perjuangan Palestina yang Banyak Menerima Penghargaan

Kisah di atas adalah sinopsis film tentang proses perjalanan eksekutor bom syahid yang baru saja diputar di sejumlah negara Timur Tengah beberapa bulan terakhir. Film yang berjudul "Al Jannah Al Aan" sebenarnya juga sudah bisa dinikmati dalam teks berbahasa Inggris dengan judul "Paradise Now." Film itu bercerita tentang perjalanan dua pelaku bom syahid yang diproduksi oleh Hany Abu Assad.Assad bukan orang baru dalam dunia film perjuangan Palestina. Ia sudah masuk ke dunia film dan pertelevisian dan membuat program televisi yang bercerita tentang imigran dan film dokumenterlainnya seperti "Dar O Dar" di channel 4 dan "Long Days in Gaza" di BBC. Tahun 1992, Abu Assad membuat film pertamanya "Paper House." Film ini berkisah tentang anak laki laki Palestina berusia 13 tahun yang ingin membangun kembali rumahnya yang telah dihancurkan. "Paper House" di tayangkan oleh televisi Belanda NOS dan memenangkan beberapa penghargaan internasional pada festival film.Menurut Assad, ide film Al Jannah Al Aan muncul karena setiap hari ia mendengar serangan demi serangan yang dilakukan pejuang Palestina di koran-koran. Awalnya ia berpikir sederhana bahwa tindakan itu adalah tindakan ekstrem sebagaimana yang banyak dipikirkan semua orang. Tapi lama kelamaan, ia juga berpikir bagaimana mungkin seseorang mampu melakukan hal seperti itu? Bagaimana mereka meyakini dan membenarkan hal itu? Bagaimana dengan keluarga mereka? Dari sanalah kemudian Assad mengerti bahwa ada banyak hal yang tidak diketahui publik apa yang terjadi sebenarnya."Lantas saya mempelajari transkip para pejuang yang gagal menjalankan bom syahid. Saya mempelajari laporan resmi Israel, saya berbicara dengan orang orang yang dekat dengan para syuhada itu, keluarga dan ibunya untuk menghayati situasinya," kata Assad.Film ini didukung oleh kru yang berasal dari 50 orang Palestina, Belanda (3 orang termasuk artis pemeran Suha, Lubna Azabal), Jerman (14 orang), Perancis (4 orang, termasuk kameramen, Antonie Heberle), Belgia, Israel (10 orang), dan Amerika (1 orang). Dengan durasi 1 jam 30 men it, film ini awalnya mengundang kontroversi, terutama saat pembuatannya. Hany Abu Assad mengaku, dalam sejumlah pengambilan gambar pihaknya selalu was -was karena ada kelompok pejuang yang menolak pembuatan film tentang pelaku bom syahid. Meski ada sebagian lain yang memandang film tersebut akan turut memberi informasi pada masyarakat dunia tentang logika bom syahid yang mereka lakukan selama ini. Film ini dianggap sebagai film pertama yang menyajikan prosesi pelaku bom syahid di Palestina. Dalam film ini ada cuplikan aksi-aksi syahid yang direkam secara sederhana oleh sejumlah organisasi pejuang Palestina seperti Batalyon Izzuddin Al Qassam.Lebih dari itu,film ini menyajikan proses demi proses pelaku bom syahid, menjadi satu kesatuan yang lengkap. Tidak heran, film ini menyedot banyak pengunjung dan antara lain mendapat penghargaan sebagai Best Europan Film, Amnesty International Film Award dan Nederlands Film Festival Award.

Syuting di Antara Desing Peluru, Dentuman Bom dan Penyanderaan
Banyak pernak pernik proses pengambilan gambar langsung dari Palestina sebagai lokasi konflik ini untuk memadukan kenyataan pahit keseharian Muslim Palestina akibat pendudukan Israeldan bagaimana respon perjuangan tumbuh dalam jiwa orang Palestina. Bahkan, masih menurut Assad sang produser, sejumlah pengambilan gambar dilakukan malam hari, sementara pada saat yang sama di sejumlah desa Palestina yang menjadi lokasi shooting, diterapkan peraturan jam malam. Ketika itu, hanya sedikit personil film yang ikut dalam pengambilan gambar.Nablus, salah satu lokasi yang menjadi markas pejuang Palestina, juga menjadi lokasi pengambilan gambar. "Terus terang saat melihat kembali film itu, kami sendiri sulit membayangkan apakah ini sebuah film atau informasi dokumenter, karena film ini benar-benar bisa menggambarkan hidup dan mati di jalan-jalan Nablus," ujar Assad. Nablus memang memiliki nilai tersendiri dalam proses pembuatan film ini. Assad menceritakan, untuk dapat masuk ke Nablus, kru film harus menjalin hubungan baik dengan tentara Israel. "Tapi untuk survive di tempat itu, kami juga harus bekerja sama dengan orang Palestina. Sungguh, ini sangat sulit. Bagi orang Palestina, kami sangat mencurigakan, bagaimana mungkin kami bekerja dengan begitu banyak orang dan material? Semua orang ingin membaca naskah kami dan banyak dari mereka yang tidak memahaminya sehingga berakhir pada kesimpulan yang berbeda beda."Di Nablus, tentara Israel yang menduduki Palestina hampir setiap hari melakukan operasi penangkapan penduduk Palestina. Invasi tentara Israel, baik tank tank yang melintasi Nablus, serangan roket dan tembakan senjata di pagi hari menjadi sarapan rutin. "Kami harus melaporkan banyak hal kepada pejuang Palestina tanpa sepengetahuan tentara Israel. Mereka tidak boleh tahu bahwa kami me lakukan kontak dengan pejuang Palestina," ujar Assad.Inilah situasi dilematisnya. Berdiri di pihak Palestina berarti menentang Israel dan sebaliknya. Situasi ini bahkan memunculkan rumor bahwa kami anti bom syahid, hingga membuat Hasan Titi, manager lokal pembuatan film ini sempat diculik dan semua kru film diminta meninggalkan Nablus oleh pejuang Palestina.Suatu hari, ketika misil Israel menyerang sebuah desa di Nablus, seorang pria bersenjata menyuruh seluruh kru film pergi. "Kami tidak menyalahkan mereka. Hidup mereka lebih penting dari sekedar film. Situasi semakin berbahaya. Kami semakin dekat dengan perang yang sesungguhnya. Ketika kami mendengar suara tembakan, kami pergi ke tempat lain, namun kami tidak melihat satu pelurupun. Hal ini justru lebih mengerikan daripada perang yang terang terangan. Semua ini memunculkan sebuah dilema lain pada kami; Bagaimana cara kami membebaskan lokal manager kami? Bagaimana cara kami bersahabat dengan orang Palesti na tanpa diketahui tentara Israel sehingga Israel tidak mengganggap kami bagian dari mereka? Bagaimana menghindari serangan serangan itu?"Dalam situasi terjepit seperti itu, Assad akhirnya berinsiatif untuk melakukan komunikasi dengan Yasser Arafat yang kala itu masih hidup. Assad mengaku belum pernah bertemu dengan Arafat dan diapun tidak pernah melihat film yang tengah ia garap. Namun ternyata, komunikasi itu efektif karena dua jam setelah komunikasi dilakukan, manager lokal dibebaskan.Permasalahannya tidak cukup sampai di situ. Karena saat itu, Assad justru mengalami dilema baru; Pergi dari Nablus atau tinggal di Nablus? Jika pergi berarti meninggalkan Hassan dan lokal kru lain dalam masalah besar. Jika tinggal, maka ia dan rekan-rekannya harus bekerja dalam zona perang. "Akhirnya saya memutuskan untuk tinggal di Nablus karena tidak punya pilihan lain," kata Assad. Tapi masalah lain datang, produser film Bero Beyer ingin mengakhiri pembuatan film yang sud ah sebagian berjalan. Akhirnya setelah melewati perdebatan panjang, Assad memutuskan untuk melakukan kampanye di kota agar menghentikan rumor yang beredar, tanpa mengecewakan tentara Israel. Sementara itu lokal dan international jurnalis mulai ramai mencari berita penculikan Hassan. Kami meminta mereka menunggu karena kami takut dengan konsekwensinya. "Kelihatannya setiap kali kami maju selangkah, kami justru terdorong mundur dua langkah. Setiap rencana yang kami buat justru membuat semuanya lebih kacau," cerita Assad.Tiga minggu kemudian mereka bekerja lagi, di bawah tekanan besar dengan rencana semula; membuat sebuah film. Terjadilah ledakkan bom yang hanya berjarak 300 meter dari lokasi syuting. "Kami berlari kesana, dan mendapati mayat 3 pemuda di tempat kami semalam mengambil gambar. Lubna Azabal pingsan, jadi meskipun kami ingin melanjutkan shooting, kini kami tidak memiliki pilihan lain. Kami harus pergi. Kami memutuskan untuk pindah lokasi ke k ota kelahiran saya, Nazareth dan meninggalkan Nablus."Film ini mengambil gambar dari lokasi nyata. Hingga ketika Ali Suliman pemeran Saed harus berdiri dengan pejuang Palestina sungguhan, ia begitu gugup sehingga tidak perlu berakting lagi. "Kami semua juga gugup karena di sekitar kami, organisator asli sedang melihat kami, semua kru dan aktor gugup," kenang Assad. Setelah selesai adegan pertama, dimana Ali menyampaikan pesan, salah satu pejuang mendatangi dan menghentikan seluruh kegiatan kru film. Assad berpikir, "Semua akan berakhir disini, semua sudah berakhir." Tapi ternyata, pejuang itu hanya ingin menunjukkan pada Ali cara memegang senjata yang benar.Sejumlah besar pengambilan gambar yang kebetulan dilakukan di siang hari, biasanya selalu dipenuhi oleh anak-anak Palestina yang ikut menonton. Sebagian masyarakat bahkan ada yang melakukan penyambutan saat kedatangan kru film. Itu karena mereka sebagian memang memandang bahwa apa yang diceritakan dari film itu kelak akan mendorong proses kemerdekaan seperti yang mereka harapkan. Di kalangan masyarakat Palestina juga banyak yang menganggap pelaku aksi bom syahid adalah pahlawan bagi kemerdekaan mereka. Abu Assad mengakui proses pembuatan film ini sendiri sempat beberapa kali membuatnya menitikkan air mata. "Film ini menyentuh perasaan. Ini benar-benar film kemanusiaan," katanya. (aulia/dari berbagai sumber)

Hany Abu-Assad Direktur, Sutradara sekaligus Produser
FilmFilm Karya Hany Abu Assad
1. Paradise Now (2005)
2. Al Qods Fee Yom Akhar (2002)
3. Ford Transit (2002)
4. Nazareth 2000 (2000)
5. 14e kippetje, Het (1998)

sumber:eramuslim.com